Halaman

Selasa, 22 Mei 2012

Nama Sepatu Piero

Piero itulah nama sepatu asli Indonesia yang sudah mendunia, ya sepetu piero bisa dibilang cukup bersaing dengan produk lain diluar sana. Sayangnya pasar lokal Indonesia sendiri masih dikuasai produk asing, padahal produk lokal jauh lebih murah dengan kulaitas yang sebanding, tetapi saat ini saya cuma pingin membagi asal-usul nama piero itu sendiri sampai menjadi merek sepatu ini.

Menurut Djimanto mantan Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) mengatakan, nama Piero berasal dari kata "urip". Lho kok?

Djimanto pun menceritakan asal mulanya, ketika dirinya masih menjadi Ketua Aprisindo saat krisis moneter terberat dialami bangsa ini yaitu tahun 1998. Saat itu, banyak perusahaan-perusahaan bangkrut, kalau tidak bangkrut ya masuk ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) karena menunggak uang BLBI atau menjadi salah satu sitaan BPPN.

Demikian juga dengan perusahaan sepatu Star Moon yang menjadi salah satu sitaan BPPN. Sebagai pengusaha sepatu yang tidak menginginkan usaha persepatuan ambruk, Djimanto pun berusaha membeli perusahaan tersebut. Meskipun tidak mau menyebutkan harganya, lelaki asal Jogjakarta itu menyebut pabrik sepatu Star Moon itu bisa dibeli dengan harga miring.

Begitu perusahaan sepatu ini dibeli, permasalahan langsung menghadang Djimanto. Sebanyak 3.000 karyawan nasibnya terkatung-katung, karena order berkurang drastis sebagai akibat masuknya Star Moon ke BPPN.  Dalam sebuah rapat direksi, Djimanto menekankan agar terus menghidupkan perusahaan itu. "Sing penting urip (yang penting hidup) pabrik, karena 3.000 karyawan bakal kesusahan kalau nggak urip," kata Djimanto mengenang masa lalu.

Karena sang empunya perusahaan keseringan mengungkapkan kata "urip" itulah, maka salah satu direkturnya punya ide agar menamakan sepatunya jadi "urip". Tapi nama tersebut dianggap kurang menjual. "Karenanya nama urip itu kemudian dibalik, karena tidak ada yang pas, makanya disisipin huruf lain, jadilah Piero," tandasnya.

Meskipun bukan mendompleng Alesandro del Piero, sepatu Piero langsung laris manis mengikuti melambungnya nama del Piero sebagai pemain kelas dunia pada awal 2000-an yang sangat disegani pemain lawan dengan tendangan yang mematikan itu. Namun pada perjalanan selanjutnya, pemasaran Piero pun banyak mengalami hambatan. Bukannya bersaing dengan para produsen sepatu dalam negeri yang menjadi masalah, akan tetapi justru kebijakan pemerintah yang membuat perusahaannya itu sempat kalang kabut.

Adalah kebijakan pemerintah yang membuka keran impor sepatu dari China. Awal 2005 lalu, alas kaki murah asal China yang menyerbu dunia, termasuk Indonesia. Dengan mutu seimbang tapi harga yang jauhlebih murah, sepatu China itu langsung merebut pasar yang tadinya dikuasai oleh produsen alas kaki dalam negeri.

Entah apa yang terjadi terhadap produk negara tersebut, bisa memproduksi dengan mutu yang bagus dengan biaya yang sangat rendah. Djimanto juga sempat pusing dibuatnya. "Banyak produsen dalam negeri yang gulung tikar, karena tidak kuat bersaing dengan produksi China," ujar Djimanto.

Puncaknya pada 2007, setengah pangsa sepatu dan alas kaki di Indonesia telah menjadi pasarnya barang-barang buatan China. Pasaralas kaki dalam negeri saat itu adalah sekitar 15 miliar dolar, sepatu asal China pun memasok jumlah yang sama ke Indonesia.

Sama dengan produsen alas kaki lainnya, Piero pun sempat kelabakan. Bahkan sempat berpikir untuk membuat nama lain dengan membuat nama pemain sepakbola saat ini yang sedang melambung misalnya Ronaldo atau CR7. "Tapi itu dikhawatirkan akan diklaim sama yang punya nama," ujarnya.

Akibat desakan China ini bahkan perusahaan ini memangkas jumlah karyawannya, jadi 1.500 orang. "Yang lainnya terpaksa di-PHK, tetapi tetap dapat order. Istilahnya mereka menjadi sub. Bila butuh kita order ke mereka," ujarnya.

Dengan mulai mahalnya harga tenaga kerja China, alas kaki produksi asal negeri pun mulai meningkat harganya. Menurutnya, saat inilah momen yang tepat bagi produksi asal Indonesia untuk bangkit agar tidak kalah dari produsen lainnya. "Syaratnya ya itu, tidak ada pungutan retribusi atau pungutan-pungutan yang bagi kami sendiri tidak tahu nantinya kembali sebagai apa, karena kami tidak mendapatkan keuntungannya, " jelasnya.